Glitter Words

Jumat, 06 Agustus 2010

Ners "Efektifitas Penggunaan Gelar Ners ( Ns )"

Sumber PPNI

ArtikelEfektivitas Penggunaan Gelar �€˜Ners�€™
Oleh: Syaifoel Hardy & Nurhadi*



Latar Belakang

Menengok sejarah dunia nursing secara umum pastilah akan dihubungkan dengan tokoh Florence Nightingale (FN) di abad ke 19, sekalipun di Islam telah berkembang pada abad ke 7 jauh sebelum FN dikenal (Grippando & Mitchell, 1989). Nurses pada saat itu, meski tanpa embel-embel gelar, telah diakui sumbangan ilmiahnya dalam masyarakat. Kemajuan yang diperoleh adalah berkat ketekunan para tokoh tersebut untuk selalu melakukan perbaikan melalui proses riset dan cara pembelajaran ilmiah lainnya.

Proses riset yang kuntinyu tersebut membuahkan dunia profesi nursing terus berkembang, seiring dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi lainnya, meskipun tidak sepesat profesi kesehatan lain misalnya kedokteran. Dari segi disiplin ilmu, profesi ini pun telah memasuki jenjang sub spesialis. Untuk mendukung kemajuan tersebut, metode riset dan critical thinking sudah menjadi bagian dari pola pendidikan nursing.

Profesi nursing di Indonesia yang tergolong masih muda dibandingkan dengan di negara Barat memang tertinggal jauh. Bahkan di antara negara-negara Asia sekalipun. Meskipun demikian, geliat perubahan yang dimulai sejak tujuh tahun terakhir di tanah air merupakan upaya positif yang sudah pasti memerlukan dukungan semua pihak. Tetapi yang lebih penting adalah dukungan pemikiran-pemikiran kritis terutama dari nurses itu sendiri.

Pola pikir kritis ini merupakan tindakan yang mendasari evidence-based practice dunia nursing yang memerlukan proses pembuktian sebagaimana proses riset ilmiah. Pola pikir tersebut bukan berarti mengharuskan setiap individu menjadi peneliti/researcher. Sebaliknya, sebagai landasan dalam praktek nursing sehari-hari.

Dengan demikian kemampuan merefleksikan kenyataan praktis lapangan dengan dasar ilmu nursing ataupun disiplin ilmu lainnya, baik dalam nursing proses kepada pasien ataupun dalam melaksanakan program pendidikan nursing, sudah seharusnya menyatu dalam intelektualitas nurses. Termasuk bagaimana menyikapi penggunaan istilah �€˜Ners�€™ misalnya.

Pemakaian istilah �€˜Ners�€™ sebagai bentuk �€˜penghargaan�€™ sesudah pencapaian jenjang pendidikan S1 merupakan issue yang perlu kita kritisi. Kita sebut sebagai issue, karena peletakannya sebagai suatu gelar bagi sebuah profesi bisa menuai perdebatan. Tinjauan literatur pemakaian istilah yang �€˜menyabot�€™ dari Bahasa Inggris: Nurse yang sebenarnya memang sebuah profesi, bukan gelar, adalah persoalan pertama. Yang kedua, penggunaan istilah ners ditinjau dari kacamata internationalisation. Dan yang ketiga legitimasi pemakaian gelar Ners.

Ketiga hal tersebut menjadi fokus essay ini. Tujuannya tidak lain adalah mengajak kita, nurses, untuk selalu berpikir kritis, agar implementasi dunia nursing sebagai disiplin ilmu mengedepankan evidence, bukan semata-mata slogan.

Analisa

Sejauh ini, lulusan S1 Keperawatan di Indonesia dikenal sebagai penyandang gelar Sarjana keperawatan (SKep). Program ini kemudian menambahkan gelar profesi nursing yang disebut Ners, sesudah menempuh sejumlah sistem kredit semester dalam studinya.

Apakah gelar tersebut merupakan gelar akademik, gelar profesional ataukah predikat lainnya semisal Registered Nurse (RN)? Di bawah ini analisanya.

1. Etimologi
Menurut Wikipedia (Online, 2007), kata nurse yang diucapkan /ners/ (Webster�€™s Ninth Collegiate Dictionary, 1993), berasal dari Bahasa Inggris, Bahasa Perancis nourice, dan Bahasa Latin nutricia, berarti: person that nourishes, is a health care professional who is engaged in the practice of nursing.

Dari definisi tersebut berarti bahwa untuk menjadi seorang nurse yang profesional memerlukan pendidikan tertentu. Sesudah menyelesaikan pendidikan, kemudian mempraktikkan hasil pengetahuan dan ketrampilannya. Dari definisi tersebut juga sudah jelas, sekalipun tanpa gelar ners, nurse sendiri sudah profesional.

Perbendaharaan kata dalam kamus Bahasa Indonesia, dalam sejarahnya banyak sekali menyerap dari bahasa asing dalam bidang ilmu pengetahuan. Kata ilmu, jadwal, miskin, awal, akhir saja misalnya, berasal dari bahasa Arab. Biologi (biology), matematika (mathematics), geologi (geology), geografi (geography), etika (ethics) dari Bahasa Inggris. Purnama, mega, samudera (ketiga-tiganya Bahasa Sansekerta), dan lain-lain. Kata-kata tersebut, kini sudah tidak asing kedengaran di telinga dan kita manfaatkan dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata tersebut sepanjang tidak ada padanan yang pas, mengalami asimilasi sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.

Kaidah Bahasa Indonesia tidak mengenal konsonan rangkap, kecuali istilah asing yang diindonesiakan, misalnya kata exponent menjadi eskponen; science menjadi sains, climax menjadi klimaks.

Berangkat dari sini, memang tidak tertutup kemungkinan bahwa kata nurse kemudian diasimilasikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ners. Tapi apakah ini tidak menyalahi aturan, karena kata nurse tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan kata modern yang dalam Bahasa Indonesia menjadi moderen, mendapat sisipan e . Disamping itu kata moderen sudah mendapatkan definisi yang baku dalam kamus kita yang berarti mutakhir atau baru (http://www.kamus-online.com). Sedangkan ners tidak demikian halnya. Kata ners belum menjadi perbendaharaan kata yang baku dalam kamus kita, apakah itu kata benda, kata kerja ataukah istilah. Berbeda juga dengan kata perawat misalnya, dari segi etimologi, kata ners tidak berdasar dan terkesan mengada-ada.

2. Internationalisasi

Dalam kamus-kamus internasional disebutkan bahwa sebutan nurse ini bukanlah sebuah gelar, melainkan profesi (Webster�€™s Ninth Collegiate Dictionary, 1993; Webster�€™s Newworld Dictionary, 2000; Oxford Advanced Learner�€™s Dictionary, 2000) yang berarti: a person who is trained or skilled in caring for the sick. Demikian pula yang sebutkan dalam kamus Inggris-Indonesia (Echols J.M. & Shadily, H. 1975, Kamus Inggris Indonesia). Dalam kamus-kamus tersebut nurse bisa berarti pula kata kerja.

Akan halnya gelar yang menyertai seorang nurse, di Amerika Serikat Registered Nurse (RN) terpisah dari gelar akademik. Gelar profesi RN tidak dikeluarkan oleh sekolah tinggi atau universitas dari mana perawat tersebut ditempa pendidikannya. RN dikeluarkan oleh sebuah komite tertentu yang disebut N-CLEX (National Committee on Licensure Examination). Di Filipina sebutan RN juga dikeluarkan oleh Nursing Board sesudah menjalani test. Di Inggris RGN demikian juga. Tidak terkecuali pula di negara-negara lain seperti Belanda, India, Singapore dan lain-lain. �€˜Gelar�€™ RN tidak dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di mana yang bersangkutan belajar, melainkan oleh lembaga profesional independen.

Gelar Ners di Indonesia diberikan bersamaan dengan gelar akademik oleh lembaga pendidikan yang menelorkan sarjana. Padahal keduanya ini mestinya terpisah ditinjau dari pemanfaatan di dunia internasional. Lembaga pendidikan S1 Keperawatan saat ini memberlakukan �€˜Dual Degrees�€™ yang di dunia internasional pendidikan nursing tidak dikenal. Gelar ners dalam percaturan nursing internasional bisa membingungkan.

3. Legitimasi

Dari sisi aturan perundangan, menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No: 178/U/2001 tentang �€˜Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi�€™ tidak menyiratkan sedikitpun tentang pemakaian Ners untuk gelar akademik maupun profesional. Dalam Bab III : Jenis Gelar Akademik Pasal 6 menyebutkan, bahwa: �€˜Gelar akademik terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor�€™.

Dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7: �€˜Penggunaan gelar Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S., untuk Sarjana dan huruf M., untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang keahlian�€™. Jadi bagi penyandang sarjana keperawatan, kita bisa saja gunakan SKp atau SKep tidak masalah, tergantung �€˜kesepakatan�€™ pihak pengambil kebijakan.

Sedangkan dalam Bab IV: Jenis Sebutan Profesional Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa sebutan profesional lulusan Program Diploma terdiri atas:
i. Ahli Pratama untuk Program Diploma I disingkat A.P.
ii. Ahli Muda untuk Program Diploma II disingkat A. Ma.
iii. Ahli Madya untuk Program Diploma III disingkat A. Md.
iv. Sarjana Sains Terapan untuk Program Diploma IV disingkat SST.

Gelar Ners di Indonesia diberikan bersamaan dengan gelar akademik. Di Diknas, penggunaan gelar sudah diatur sebagaimana tersebut diatas. Masalahnya, mengapa policy ini hanya berlaku pada S1 Keperawatan? Memperoleh gelar akademik sekaligus profesi. Profesional lain di program kesehatan misalnya Kedokteran, Gizi atau Kesehatan Masyarakat, apalagi non-kesehatan, tidak mendapatkan perlakuan serupa: double degrees.

Walaupun dalam SK Mendiknas Nomer 178/U/2001, Pasal 21, Ayat 3, menyebutkan bahwa �€˜Gelar akademik dan sebutan profesional lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri�€™, itu bukan berarti bahwa kita tidak memiliki �€˜keleluasaan�€™ untuk berkaca kepada percaturan sistem pendidikan nursing internasional. Karena dalam Fungsi dan Tujuan diselenggarakannya pendidikan tinggi sebagaimana disebutkan dalam Rancangan PP (pasal 51) tentang Pengelolaan dan Penyelenggraan Pendidikan adalah: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (www.depdiknas.go.id), maka sebagai profesi yang berwawasan internasional, watak serta peradaban nurses kita akan diakui oleh dunia internasional jika kita mampu bergaul dalam percaturan nursing yang mengacu pada standard internasional. Dunia internasional mengakui profesi kedokteran kita dengan gelar dr, mengakui sarjana kita: engineer, mengakui ahli gizi: nutritionist. Siapa yang mengenal Ners?

Registrasi dan Spesialisasi

Sudah seharusnya jika lulusan pendidikan nursing setingkat sarjana akan lebih memiliki bobot baik dari segi penguasaan ilmu nursing yang bisa dipadukan dengan disiplin ilmu lainnya. Menjamurnya program pendidikan Strata 1 Keperawatan di seluruh Indonesia berarti akan semakin banyak nurses setingkat sarjana.

Dalam kenyataan sehari-hari dominasi dunia kedokteran dalam bidang kesehatan memang masih besar sekali (Germov, 1998). Jika dilihat dari sejarah pendirian maupun dari susunan personel lembaga pendidikan nursing di Indonesia, peran profesi kesehatan lain masih sangat dominan. Berbeda dengan di negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, juga di India ataupun Philippines, dimana faculty of nursing nya independen (Bridget Hospital School of Nursing, San Juan College, Regents College Nursing, Cheridan College Nursing Program, dll); atau di bawah Faculty of Sciences (Department of Nursing University of Southern Queensland; Department of Nursing of the University of the Philippines, dll). Kenyataan ini yang menjadi kendala hingga di tingkat pusat, di mana kita tidak memiliki kemandirian di bawah Departemen Kesehatan (depkes.2007, Online).

Berbicara masalah jenjang profesi dan karir, tidak bisa dilepaskan dari dua tinjauan yang mendasar yaitu tinjauan akademik dan tinjauan profesional. Berdasarkan tinjauan akademik, di negara-negara yang dicontohkan di atas, jenjang pendidikannya dibagi tiga kelompok yaitu undergraduate, post graduate dan doctorate. Undergraduate yaitu jenjang pendidikan Strata 1 dengan gelar BSN/BN atau dibawahnya, post graduate setara dengan Strata 2 dengan gelar MSN/MN, dan doctorate dengan gelar DSN/DN.

Masing-masing strata memiliki sistem pendidikan, gelar serta peran dan tanggungjawab terhadap profesi yang sudah baku dan jelas. Misalnya untuk program diploma selama perkuliahannnya yang ditempuh antara 2 �€“ 3 tahun, tidak mendapatkan mata kuliah riset sebagai indikator jenjang yang lebih tinggi ataupun kalau dapat hanyalah sekedar pengantar riset, karena lulusannya memang tidak dituntut untuk menjadi peneliti. Tetapi paling tidak bisa ikut andil dalam membantu proses riset atau mengerti pemakaian hasil riset.

Dari tinjauan profesional, nurses bisa dikatakan profesional jika memiliki bukti registrasi yang mengontrol kompetensi nurses (Germov, 1998). Dengan sistem registrasi yang baku memungkinkan pengawasan terhadap kemampuan nurses sehingga senantiasa sesuai dengan perkembangan ilmu nursing yang terbaru sebagai persyaratan untuk mendapatkan registrasi. Jenjang spesialisasi bagi nurses bisa ditempuh tanpa memandang latar belakang akademik, apakah itu Diploma, BSN, atau MN.

Di Australia, India, Philippines, Amerika, Inggris, New Zealand serta negara Barat lainnya, pemberian gelar RN merupakan pengakuan yang berkekuatan hukum terhadap kompetensi profesi yang diberikan oleh Nursing Board/Nursing Council (Edginton, 1995). Nursing Board dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah [Department of Education, Science and Training (DEST)-Australia, 2003, online] dan di bawah kontrol Menteri Kesehatan (Edginton, 1995).

Untuk memperoleh predikat RN, nurses harus memenuhi beberapa persyaratan. Di beberapa negara aturannya lebih ketat dengan menyaratkan harus mengikuti ujian registrasi seperti di AS dengan NCLEX-RN nya atau di Philippine dengan Registration Examination. Di Inggris menyaratkan pelaksanakan praktek nursing selama lima tahun terakhir, dan bila sudah teregistrasi pun harus selalu meng-up date ilmu setiap dua tahun sekali yang jika tidak terpenuhi status registrasinya bisa dicabut (NMC, 2007).

Registrasi tersebut memiliki nomer dan masa berlaku yang ditentukan oleh Nursing Board. Sistem registrasi memiliki pengaruh terhadap status pekerjaannya di mana setiap individu untuk bisa bekerja sebagai nurses harus memiliki bukti registrasi tersebut. Jika dia bekerja tanpa memiliki bukti register tersebut bisa dianggap sebagai melanggar hukum (Edginton, 1995).

Peningkatan profesi lain, selain dalam bentuk RN, bisa juga berupa misalnya: CRNA (Certified Registered Nurse Anaesthetist) untuk nurse anastesi, CRNP (Certified Registered Nurse Practitioner) untuk Nurse Practitioner, CNOR (Certified Nurse of Operating Room) untuk nurse kamar operasi , dsb.

Jadi seorang nurse memungkinkan untuk memiliki gelar RN, CNOR dll dibelakang namanya bukan hanya karena telah merampungkan jenjang pendidikan tertentu dan dalam masa tertentu saja, namun juga melalui test/seleksi yang diselenggarakan oleh badan registrasi serta memiliki dasar hukum yang jelas.

Bagi penyandang Strata 2, gelarnya adalah MSN (Master of Science of Nursing) dan diikuti dengan gelar spesialisasi tersebut di atas, misalnya MSN, CRNP tanpa harus mencantumkan gelar BSN karena gelar MSN tersebut lebih tinggi stratanya, kecuali jika gelar masternya adalah di luar disiplin ilmu keperawatan maka gelar BSN nya tetap dicantumkan (Untuk aturan di Indonesia, lihat SK Mendiknas).

Sedangkan Inggris dan negara-negara yang berafiliasi dengannya seperti India, Pakistan, beberapa negara Arab dan Afrika, serta Australia menggunakan pola yang sama dengan Amerika hanya saja tanpa huruf S untuk gelar BSN dan MSNnya. Jadi gelar yang dipakai hanya BN atau MN. Sedang gelar spesialisasinya akan ditulis di dalam kurung mengikuti gelar utamanya. Misal MN (Adv Prac) untuk gelar Master of Nursing spesialis Advance Practice; MN (Edu) untuk Master Nursing dengan spesialis Education, dsb.

Berdasarkan dari apa dan bagaimana penempatan RN serta gelar spesialisasi di atas, maka pemakaian gelar Ners semakin susah untuk ditempatkan. Jika dipakai sebagai gelar registered tidak pas lantaran lembaga yang mengeluarkannya. Demikian pula bila dipakai untuk gelar spesialisasi, Ners tidak mengindikasikan spesialisasi tertentu.

Tren Globalisasi

Tahun 2010 adalah awal era globalisasi, pasar terbuka. Tren globalisasi yang tidak mengenal batas negara memiliki pengaruh yang luas di segala bidang. Tenaga kerja asing termasuk nurses juga mulai merambat bursa tenaga kerja Indonesia yang harus bersaing dengan nurses di tingkat lokal (misalnya di Freeport, Irian Barat, nursesnya multinational).

Di dunia pendidikan kerja sama antar perguruan tinggi antar negara, merupakan salah satu kiat untuk mengahadapi tren di atas. Kerjasama antara Stikes Binawan dan Universitas Indonesia dengan University of Technology Sydney untuk program PSIK (Buletin of Central Sydney Area Mental Health, 2007, online) merupakan contoh inovatif yang bisa ditiru. Tujuan program-program internasionalisasi ini tidak lain supaya mendapatkan pengakuan di mata internasional, baik dari segi pengetahuan maupun ketrampilan.

Diperkirakan lebih dari 4000 tenaga nurses kita di negara-negara Timur Tengah, dan sejumlah kecil di Eropa, Australia, Jepang dan Amerika serta di negara tetangga Malaysia dan Brunei. Bedanya, status nurses kita yang di luar negeri dengan foreign nurses yang ada di negeri kita adalah, jika nurses asing yang masuk ke negara kita tersebut memiliki pos yang tinggi, sedangkan nurses kita yang ada di negara asing mayoritas masih menduduki peringkat kelas bawah sekalipun dia adalah lulusan S1 (Dian S, Pers. Comm, 2007).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa keberadaan dan status nurses kita memang masih belum bisa disejajarkan dengan negara-negara lain. Salah satu penyebabnya adalah kita belum memiliki sistem pengaturan profesi yang baku. Nursing council/board yang berskala nasional belum eksis di Indonesia. Secara umum, tugas nursing council ini menangani legalitas kompetensi profesi nurses di Indonesia yang dikemas dalam bentuk registrasi.

Menurut Germov (1998), syarat bisa dikatakan profesi adalah jika memiliki otonomi sendiri untuk mengatur standar tugas dan tanggungjawabnya, statusnya dan sistem keuangannya menurut badan profesi yang diakui secara nasional ataupun internasional. Di sinilah Nursing Board/Council kembali berperan. Sedangkan badan tersebut belum kita miliki.
Keberadaan Persatuan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) belum bisa dikatakan sebagai Nursing Board. Sebaliknya, PPNI hanya merupakan organisasi yang memiliki fungsi sebagai wadah profesi nursing yang memiliki persamaan kehendak sesuai dengan jenis/profesi dan lingkungan kerja untuk mencapai tujuan organisasi (PPNI, 2007, Online).

Rekomendasi

Dalam buku karya Kenworthy, Snowley, dan Gilling (2002) berjudul Common Foundation Studies in Nursing, konsep nursing itu dibangun dari empat unsur yaitu client, health, environment, serta nursing. Dari keempat unsur ini para peneliti kemudian mengembangkan, sehingga muncul berbagai macam teori nursing. Di antara teori-teori yang baru tersebut, yang paling penting adalah peletakan konsep di tengah-tengah disiplin ilmu yang lain sebagai suatu evidence-based practice, sebuah disiplin ilmu yang berdasar kepada bukti-bukti ilmiah, bukan semata-mata turunan, atau tiruan dari disiplin ilmu yang lain.

Penggunaan Ners di Indonesia, dari uraian diatas, pada hemat penulis perlu dicermati kembali. Gelar Ners perlu mendapatkan perhatian, jika masih terlalu �€˜ekstrim�€™ untuk dikatakan koreksi. Dari berbagai tinjauan di atas juga membuktikan, baik dari segi akademik, profesi maupun segi hukum, kurang mendukung penerapannya.

Sebagi sebuah cabang profesi, nursing membutuhkan dasar pendidikan yang layak. Pendidikan ini membutuhkan dukungan teori serta praktek. Berbagai referensi mengemukakan teori dan parktek yang amat bervariasi. Teori-teori tersebut diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang di dalamnya terdapat independensi (USQ-Australia, New Castle University-Australia, Regent�€™s College of Nursing-USA, dll), bukan di bawah payung fakultas kesehatan lain. Perguruan tinggi ini menawarkan beberapa program pendidikan nursing, mulai dari Associate Degree hingga Post Graduate of Nursing. Meski demikian, pemberian gelar profesional (RN) terhadap para lulusan perguruan tinggi di berbagai negara tersebut tidak dikeluarkan oleh universitas yang meluluskan, namun oleh Nursing Council / Nursing Board.

Pemberian gelar registered nurse, mestinya tidak perlu didiskriminasikan, apalagi oleh lembaga pendidikan. Sebaliknya, terlepas dari apakah itu lulusan diploma, sarjana, atau pasca sarjana, mereka berhak mengajukan perolehan registrasi pada sebuah lembaga independen yang mengurusinya. Di negeri kita, kalau hanya lulusan S1 yang berhak mendapatkan gelar profesi Ners, apakah lulusan diploma 3 tidak berhak mendapatkan gelar profesi serupa hanya karena tingkat pendidikannya yang satu level di bawahnya?

Oleh sebab itu, prinsip yang sama bisa diterapkan di Indonesia. Mengusulkan kepada Pemerintah lewat Departemen Kesehatan untuk membentuk Nursing Council yang sudah mendesak kebutuhannya. Nursing council ini tidak menutup kemungkinannya bisa dibentuk secara independen. Sudah waktunya pula PPNI, sebagai satu-satunya organisasi nursing, mewujudkan impian anggotanya.

Kesimpulan

Uraian diatas membuktikan bahwa gelar Ners tidak bisa disejajarkan dengan RN sebagaimana yang ada di luar negeri semisal AS atau RGN di Inggris, khususnya jika ditinjau dari aspek akademik, aturan peletakan gelar serta pengakuan hukum.

Hanya saja, sebagian besar warga profesi kita sudah terlanjur terbiasa mudah ikutan (latah) tanpa berpikir kritis terhadap segala konsekuensinya. Tidak terkecuali menyikapi pemakaian gelar. Gelar Ners begitu saja ditelan tanpa mempertimbangkan apakah tepat atau tidak penggunaannya.

Dalam wawancara dengan salah satu stasiun TV, pada 7 Juni 2004, pakar ekonomi dari Harvard University, Hartojo Wignjowijoto (Husaini, 2004, online), menyatakan, �€Ĺ“Problem mendasar bangsa Indonesia adalah �€˜tidak memiliki kepercayaan diri�€™ dan �€˜tidak mau kerja keras�€™. Tidak percaya diri, malas bekerja, malas belajar, malas mencari ilmu, mau dapat gelar tanpa bekerja keras merupakan kendala besar kita. Lihatlah, begitu banyaknya program yang menawarkan gelar magister, doktor, dari berbagai institusi pendidikan, tetapi tidak memperhatikan kualitas penerima gelar. Sekarang, sudah sampai di kampung-kampung, orang menawarkan program mudah untuk mendapatkan gelar magister atau doktor.�€�

Akankah kita sebagai nurses, mau disejajarkan dengan kelompok tersebut? Sudah tentu tidak! Hanya saja hal ini perlu bukti. Setidaknya, gelar profesional ini tidak hanya slogan yang ada di belakang nama penyandangnya. Tanpa Ners pun, melalui pola kerja kita yang kompeten, klien akan tahu, bahwa profesional yang ada di sampingnya bukan seperti yang disebutkan oleh pakar ekonomi dari Harvard di atas.

Email:
Syaifoel Hardy: hardy.syaifoel@gmail.com
Nurhadi: aboozaki@gmail.com

References:

BIHS, n.d., Nursing study program: introduction, Academic Information, [Online], Available from URL: http://www.binawan-ihs.ac.id/educationinfo.html, Accessed on 29/06/2004
Buletin of Central Sydney Area Mental Health, 2003, Nursing Curriculum Development with Binawan Institute, University of Indonesia and University of Technology Sydney (UTS), [Online], available from URL: http://www.cs.nsw.gov.au/mhealth/bulletins/binawanindonesia.htm, Accessed on 29/06/2004.
DEST - Australia, 2003, �€˜ Nursing legislation and regulation�€™, National Review of Nursing Education , [Online], available from URL: http://www.dest.gov.au/highered/nursing/pubs/duty_of_care/doc5.html, Accessed on 04/10/2003.

Departeken Kesehatan RI, 2007, Domain Depkes, Online, Available at URL http://www.depkes.go.id/, [Accessed on 20 June 2007].

Dikti, 2003, Daftar Program Studi Yang Telah Terakreditasi s/d 2003, [Online], Available from URL: http://www.dikti.org/, accessed on 26 June 2004.

Edginton, J., 1995, �€˜Nurses�€™ registration�€™, Law for the Nursing Profession and Allied Health Care Professionals, 3rd edn., CCH Aust. Ltd, North Ryde, ch. 5.

Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran, 2002, �€˜Profil program studi ilmu keperawatan�€™, Program Study Ilmu Keperawatan, [Online], Available from URL: http://www.fk.unpad.ac.id/jsp/profil-keperawatan-profil.jsp/, Accessed on 26/06/2004.

Germov, J. 1998, �€˜Challenges to medical dominance�€™, Second Opinion: An Inroduction to Health Sociology, ed. J. Germov, Oxford, Melbourne pp. 230-48.

Gripando, G.M. & Mitchell, P.R., 1989, Nursing Perspectives and Issues, 4th edn., Delmar Publishers Inc., New York, pp. 2 �€“ 3.

Husaini, A., 2004, Opini, [Online], available from URL://httpwww.hidayatullah.com/ modules.php?name=News&file=article&sid=1237, accessed on 26 June 2004.

Kenworthy, N., Snowley, G., Gilling, C., 2002, The context of practice, Common Foundation Studies in Nursing, 3rd edn, Churchill Livingstone, Edinburgh, pp. 42-75.

Maslen, G., 2000, Graduates pocket the benefits of study�€™, Campuss Review, Jun 14-20, p. 4.

NMC, 2007, Home page UKCC, [Online], Available from URL: http://www.nmc- uk.org. [Accessed on 30/05/2007].

PPNI, 2007, Home page PPNI, [Online], available from URL: http://www.ppni.itgo.com/, Accessed on 30/05/2007.

West, W., 2000, �€˜Do degrees put money in the bank?�€™, Campuss Review, Sep. 13 �€“ 19, pp. 19 �€“ 20.

Minggu, 18 Juli 2010

Pengumuman Ners FK UH 2010

sumber :www.nurhayanurdin.blogspot.com

PENGUMUMAN HASIL SELEKSIUJIAN MASUK NERS B 2010 PSIK FK UNHAS
Senin, Juli 19, 2010
Hasil Seleksi Ujian Masuk Ners B 2010 PSIK FK Unhas
Berdasarkan SK Rektor Universitas Hasanuddi No. 7249/H4/O/2010 tgl. 8 Juli 2010 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Pendidikan Ners pada Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun akademik 2010/2011, maka mereka yang tersebut namanya berikut ini dinyatakan lulus dan diterima sebagai Mahasiswa Baru Program Pendidikan Ners B tahun akademik 2010/2011.
Adapun nama-nama yang dimaksud adalah sbb:

NIM NAMA INSTANSI
C121 10 601 SUNARTI Akper Muhammadiyah Makassar
C121 10 602 TRISNAWATY PAULUS T Akper Putra Pertiwi Mamuju
C121 10 603 ALMAWIN SUSEN Dinas Kesehatan Kab.Muna
C121 10 604 BENYAMIN LO RSUD Ruteng NTT
C121 10 605 HASNIAR RSUD Kab.Mamuju Utara
C121 10 606 HADIRA RSUD Kalabahi-Alor NTT
C121 10 607 JUHRIATI P BLUD RSU Dr. MM Dunda Gorontalo
C121 10 608 ALFRISCA KENDE RSUD Undata Palu
C121 10 609 HIJRIYANA HUSMARINA RSUD Soasio/ Tidore Kepulauan
C121 10 610 ICA BUDIARTI HASANUDDIN BPK RSUD A.Makkasau Pare-Pare
C121 10 611 MUH. ZUKRI MALIK STIKES Panakukang Makassar
C121 10 612 WAHYUDI HIDAYAT Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Makassar
C121 10 613 MUHAMMAD YAMIN ALI -
C121 10 614 HERLINA RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 615 A. TESSIOJA RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 616 ASGU S. PATNO Dinas Kesehatan Kab.Maros
C121 10 617 KAMELIA RSUD Majene
C121 10 618 MIRANTI RSUD Undata Palu
C121 10 619 RIDWAN RSU Haji Makassar
C121 10 620 ISMAIL Puskesmas Batu Lappa Pinrang
C121 10 621 ASMIRA RSUD Majene
C121 10 622 LA ODE ARDINI Puskesmas Wilayah Kecamatan Batu Atas
C121 10 623 SITI NURUL FATIMAH AKPER Luwu
C121 10 624 NURLINDA CHAERUL CORA -
C121 10 625 DEWI ANUGRAH PATTIPEILONY Dinas Kesehatan Kota Kupang
C121 10 626 WASIATY Dinas Kesehatan Kota Bontang
C121 10 627 AZMI Dinas Kesehatan Kab.Toli-Toli
C121 10 628 ISMAWARNI PKM Banggae I Majene
C121 10 629 RISOT HASAN Dinas Kesehatan Kota Kupang
C121 10 630 SEBASTIAO AMELIA A. RSUD Atambua
C121 10 631 SARI INTANG RS Wahidin Sudirohusodo
C121 10 632 IDEHA PEMBAGA RSU Mokopido Toli-Toli
C121 10 633 GUSRENI VAN GOBEL Dinas Kesehatan Gorontalo
C121 10 634 EDY IRAWAN NASITION RSUD Abdul Rifai Tanjung Redeb Kal-Tim
C121 10 635 SUKRI RS Wahidin Sudirohusodo
C121 10 636 EMI RAHMAN RSUD Banggai Kepulauan
C121 10 637 ITA NURHAYATI Dinas Kesehatan Kab.Manggai Barat
C121 10 638 I. KADE WIJAYA STIKES Panakkukang Makassa
C121 10 639 DIANA ABDULLAH Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Makassar
C121 10 640 ANSELMUS JANGGUR Dinas Kesehatan Kab.Manggarai
C121 10 641 FAISAL RSUD Tanjung Selor ( Pemda Kabupaten Bulungan)
C121 10 642 MIRNAWATI RS TK II Pelamonia Makassar
C121 10 643 IRAWATI RS Ibnu Sina
C121 10 644 SAHNIAR MADE RSU 165 Maros
C121 10 645 LILIS SUNDARI Universitas Sulawesi Barat
C121 10 646 HESLY SILASRAPA RSUD Mamuju
C121 10 647 SITI HADIJAH KAIROTI RSUD Bula Seram Bagian Timur Maluku
C121 10 648 SURIANTI SULEMAN RSUD Dr.H Hasan Boesoirie Ternate
C121 10 649 HASANUDDIN Puskesmas Ulumanda
C121 10 650 ANIK SETYANINGTYAS RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 651 MARNI TANGKE DATU Dinas Kesehatan Kab.Poso
C121 10 652 CHANDRA MAKASSAR Dinas Kesehatan Kepulauan Sula Mauku Utara
C121 10 653 LINDARI RAHAYU MAKASSAR RSUD Sanana Maluku Utara
C121 10 654 JUFRI RSU Haji Makassar
C121 10 655 EVA SOFIANA MANTIRI Dinas Kesehatan Kab.Manggai Barat Flores
C121 10 656 UNIAR RSUD TK II Pelamonia
C121 10 657 NURLAILA S. TAHIR BLUD RSU Dr. MM Dunda Gorontalo
C121 10 658 JEFRI RSU Anutapura Palu
C121 10 659 ILHAM BUAMONA RSUD Dr.Chasan Boesoirie Ternate
C121 10 660 ALI USMAN Dinas Kesehatan Kab.Polman Sul-Bar
C121 10 661 SYANTI DEWI TAMHER RSUD Dr. M Haulussy Ambon
C121 10 662 ATIN PRIHATIN RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 663 ANITA YUSNI WATI Dinas Kesehatan Kab.Mimika,Timika Papua
C121 10 664 HENDRIK FERDINAN E. RSUD Piru Ambon
C121 10 665 MARIA LISBETH A RSUD Dr. M Haulussy Ambon
C121 10 666 NOTESYA ASTRI Poltekkes Depkes Maluku Prodi Kep.Tual Ambon
C121 10 667 RAHMATIA RSU Mukopido Toli-Toli Sul-Teng
C121 10 668 NURSANTI ANWAR Poltekkes Ternate
C121 10 669 ERNA YANTI UMAR RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 670 NAZRIAH NUR RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 671 MUSYANI RSUD Sangatta Kal-Tim
C121 10 672 AMRULLAH RSUD Kab.Majene
C121 10 673 MURSAN RS Khusus Dadi Sul-Sel
C121 10 674 MARLINA P. PATTIPEILOHY RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang
C121 10 675 MIDAWATI RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 676 SARLINA DWISAYANTI RSUD Abepura Jayapura
C121 10 677 IDA RIANY RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
C121 10 678 ASRIANI SAIMANG PKM Sungai Bali Kal-Sel
C121 10 679 HASMAN DJAKARIA RSUD Anuntalopo, Parigi Moutong
C121 10 680 RUSTIAH RS Wahidin Sudirohusodo Makassar
Bagi peserta yang namanya tercantum diatas agar segera menghubungi bagian PSIK FK Unhas atas nama sdr(i) Marni (081355131910) atau Ati (081347831458) untuk informasi pendaftaran dan berkas yang harus dipersiapkan, terhitung mulai tgl. 20 Juli 2010 (08.00 - 16.00 WITA)

Salam,
Panitia PMB Ners B 2010.

Alzheimer`s

sumber :Antara News

Penelitian Baru Muncul dari Alzheimer`s Association 2010 International Conference
Kamis, 15 Juli 2010 07:41 WIB | Rilis Pers | | Dibaca 309 kali
on Alzheimer`s Disease

HONOLULU, 15 Juli (ANTARA/PRNewswire-AsiaNet) -- Pekan ini, hampir 4.000 ilmuwan dari seluruh dunia berkumpul untuk melaporkan dan membahas kemajuan paling akhir dalam penelitian mengenai perawatan, faktor resiko, dan diagnosis bagi wabah kesehatan Abad 21 - penyakit Alzheimer's - pada Alzheimer's Association's 2010 International Conference on Alzheimer's Disease (AAICAD 2010) in Honolulu.

"Dengan generasi 'baby boomers' telah berusia lanjut, krisis penyakit Alzheimer's akan terus menyentuh lebih banyak orang dan menciptakan korban yang tak terelakkan pada sistem perawatan kesehatan negara - terutama Medicare dan Medicaid," kata William Thies, PhD. Kepala Petugas Sains dan Medis di Alzheimer's Association.

"Pekan ini kita menyaksikan penyelidikan yang menjanjikan yang sedang dilancarkan pada berbagai front - jalan yang dapat dengan sangat baik mengarah kepada perubahan mencolok di bidang diagnosis dan perawatan Alzheimer's. Namun, kekurangan kronis penanaman modal dalam penelitian Alzheimer's terus menjadi penghalang terbesar untuk menghadirkan terapi baru yang lebih efektif buat banyak orang," kata Thies.

"Setiap hari, para peneliti mengerjakan tujuan tunggal memajukan pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Alzheimer's, yang menjadi penyakit yang mencolok dari generasi 'baby boomers'. Kita memerlukan reaksi pemerintah yang memperlihatkan komitmen yang sepadan dengan menyediakan tingkat dana buat penelitian yang akan membawa kita ke pemeriksaan, perawatan dan pengobatan diagnostik yang lebih baik," kata Thies.

Pusat perhatian dari AAICAD 2010 meliputi

- Alzheimer's Association mengumumkan peluncuran Alzheimer's Association TrialMatch (TM), alat yang interaktif, gratis dan rahasia yang menyediakan keterangan percobaan klinis yang menyeluruh dan layanan percobaan pencocokan individual buat orang yang menderita penyakit Alzheimer's dan dementia, yang berkaitan dengannya. Program yang berdasarkan telepon dan Internet itu (www.alz.org/trialmatch) menyediakan layanan pertama yang sejenisnya mengenai Alzheimer's dengan mengirim pencocokan perorangan ke percobaan klinik buat orang yang menderita Alzheimer's, profesional perawatan kesehatan, pemberi layanan dan relawan kesehatan.
- Dementia Demonstration Project (DDP), upaya antar-disipliner yang dipimpin oleh Geriatric Research, Education and Clinical Center di Minneapolis Veterans (VA) Medical Center, menemukan bahwa deteksi dini, diagnosis dan penanganan perawatan buat orang yang baru didiagnosis mengalami gangguan kognitif dan dementia dapat mengurangi biaya pasien rawat jalan sampai hampir 30 persen. Peserta studi itu yang didiagnosis di klinik DDP menghadapi kenyataan bahwa biaya rata-rata perawatan kesehatan rawat jalan mereka turun sebesar 1.991 dolar AS per tahun setelah diagnosis gangguan kognitif dibandingkan dengan tahun sebelum diagnosis dilakukan. Di klinik DDP, setelah pemeriksaan, tim perawat dementia bertemu dengan pasien dan keluarga mereka untuk mengkaji hasilnya, membahas diagnosis, dan menjabarkan saran perawatan. Bahan keterangan, bantuan dalam mengidentifikasi layanan yang diperlukan, dan dukungan langsung serta pelatihan dari anggota tim disediakan, sebagaimana keperluan.
- Bukti dari tiga studi jangka panjang dengan jangkauan luas (Framingham Study, Cardiovascular Health Study, NHANES III) mendukung penghimpunan kegiatan fisik dan unsur makanan tertentu (teh, vitamin D) dengan kemungkinan memelihara kemampuan kognitif dan mengurangi resiko dementia pada orang dewasa yang lebih tua. Selain itu, satu studi baru pada model hewan mengenai Alzheimer's yang dilaporkan hari ini di AAICAD 2010 menunjukkan bahwa makanan yang kaya akan anti-oksidan pada kenari mungkin bermanfaat bagi fungsi otak. Penelitian telah menunjuk ke arah sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi resiko Alzheimer's dan kemerosotan kognitif, yang penurunan paling kuat faktor resiko cardiovascular. Alzheimer's Association dan yang lain telah berulang-kali menyerukan dilakukannya studi penelitian yang berksala lebih luar guna menjelaskan peran yang dimainkan semua factor itu pada kesehatan otak yang bertambah tua. Semua studi dari AAICAD 2010 itu adalah sebagian laporan pertama yang sejenisnya tentang Alzheimer's, dan itu membesarkan hati, tapi itu belum menjadi bukti pasti.
- Para ilmuwan di AAICAD 2010 mengajukan laporan rancangan pertama dari tiga kelompok kerja - yang mencakup penyakit Alzheimer's - dementia, gangguan ringan kognitif (MCI) akibat penyakit Alzheimer's, dan penyakit Alzheimer's pra-klinis - yang mengadakan pertemuan di bawah National Institute on Aging (NIA) dan Alzheimer's Association guna memperbarui kriteria diagnostik bagi penyakit Alzheimer's untuk pertama kali dalam 25 tahun. Usul tersebut akan mengubah criteria yang ada dengan secara lebih baik mencerminkan berbagai tahap penyakit dan dimasukkannya biomarker penyakit Alzheimer's. Meskipun peran biomarker berbeda pada masing-masing dari ketiga tahap tersebut, kebanyakan tetap harus dipahami mengenai kehandalan dan keabsahan mereka di dalam diagnosis. Itu membuat semuanya penting bahwa setiap saran baru diuji secara seksama. Masukan lebih lanjut akan diminta oleh NIA dan Association melalui jejaring yang diluncurkan segera setelah penyajian AAICAD di www.alz.org/research/diagnostic_criteria.
- Sasaran pengobatan utama pada penyakit Alzheimer's ialah beta amyloid peptide, yang bergerombol di sel luar otak sehingga membentuk kumpulan lengket yang dikenal sebagai plak. Baru-baru ini, perhatian lebih besar telah diberikan pada protein tau, yang berkumpul di dalam sel otak orang yang terserang Alzheimer's, sehingga membentuk kekusutan neurofibrillary.Empat studi kajian baru meskipun sangat awal yang dilaporkan pada AAICAD 2010 menggambarkan imunoterapi percobaan bagi Alzheimer's - dua di antaranya ditujukan pada tau secara langsung dan dua lagi mungkin mengurangi tau sekalipun sasaran awalnya adalah beta amyloid. Yang penting, semua studi itu lebih mengajarkan kita bukan hanya mengenai terapi yang ditujukan kepada tau tapi juga tentang kemajuan penyakit Alzheimer's. Mungkin perubahan amyloid pada otak terjadi pada tahap dini penyakit Alzheimer's, dan perubahan yang berkaitan dengan tau terjadi - di jalurnya kemudian - tempat perubahan itu memiliki dampak yang lebih langsung dengan fungsi kognitif. Oleh karena itu, perawatan imunoterapi yang ditujukan kepada amyloid mungkin juga dapat mengubah proses neurodegeneratif yang terjadi belakangan pada penyakit tersebut. Namun itu masih harus ditentukan.
- Di dalam temuan awal yang dilaporkan pada AAICAD 2010, satu gen yang dikenal dengan sebutan FTO, yang kelihatannya tak berkaitan dengan kegemukan pada manusia, mungkin juga meningkatkan resiko penyakit Alzheimer's dan dementia. Ketika seseorang memiliki varian tertentu FTO dan gen resiko Alzheimer's yang dikenal dengan nama APOE, resiko Alzheimer's dapat berlipat-ganda. FTO sebelumnya telah diketahui mempengaruhi indeks massa tubuh (MSI) dan resiko diabetes. Semua faktor resiko vascular tersebut juga telah berkaitan dengan penyakit Alzheimer's. Namun para peneliti itu mendapati bahwa peningkatan resiko tersebut tergantung atas ciri khas itu, dan menunjukkan bahwa ada mekanisme berbeda yang membuat FTO berkaitan dengan peningkatan resiko Alzheimer's. Kita perlu melihat hasil yang dikonfirmasi oleh peneliti lain. Pada kenyataannya, kita perlu mengetahui lebih banyak, secara umum, mengenai genetika dan penyebab lain Alzheimer's sehingga kita memiliki sasaran tambahan bagi terapi dan pencegahan.
- Pengajuan ilmiah pada saat terakhir ke AAICAD 2010, yang dikenal sebagai 'topik panas', menyatakan bahwa (1) gen resiko yang baru ditemukan bagi Alzheimer's mungkin memiliki dampak dini pada ketrampilan memori dan volume otak, (2) insulin intranasal mungkin bermanfaat dalam penganganan Alzheimer's, dan (3) endapat beta amyloid pada otak orang yang terserang Alzheimer's mungkin memiliki bentuk yang berbeda berdasarkan gen resiko Alzheimer's yang diketahui.

-- Dua studi yang dilaporkan pada AAICAD 2010 memberi kita keterangan lebih banyak mengenai gen TOMM40 - gen resiko yang baru diidentfikasi bagi Alzheimer's. Mereka mendapati bahwa orang yang berusia setengah baya dan sehat yang memiliki versi resiko tinggi TOMM40 (a) memperlihatkan hasil lebih buruk pada pemeriksaan ingatan dan (b) memiliki volume otak yang berkurang di dua bagian yang terpengaruh pada tahap dini oleh Alzheimer's.
-- Percobaan klinis jangka-pendek (4 bulan) mengenai insulin intranasal pada gangguan ringan kognitif dan Alzheimer's (MCI) memperlihatkan secara statistik manfaat besar mengenai pemeriksaan tertentu ingatan dan fungsi, tapi tak perubahan pada yang lain. Pada mereka yang memperlihatkan manfaat pemeriksaan memori, juga ada perubahan positif pada biomarker Alzheimer's pada cairan tulang punggung. Studi yang lebih luas dengan jangka lebih lama direncanakan.
-- Para peneliti dengan menggunakan alat baru pencitraan menunjukkan bahwa ada bentuk berbeda endapan beta amyloid pada otak Alzheimer's, yang dimiliki seseorang mengenai gen resiko Alzheimer's yang tertata dengan baik, yang dikenal dengan nama APOE. Itu mungkin sangat penting karena pada beberapa percobaan obat baru-baru ini, terapi tersebut memberi manfaat pada orang yang memiliki jenis tertentu APOE tapi tak terlalu efektif atau tak efektif pada orang lain.

- Dua studi baru dari AAICAD 2010 menunjukkan bahwa memiliki penyakit Alzheimer's mungkin meningkatkan resiko terserang kondisi lain kesehatan yang berpotensi melumpuhkan, seperti serangan jantung dan anemia. Para peneliti pada salah satu studi itu mendapati bahwa angka serangan, per 1.000 orang per tahun, di satu kelompok studi yang meliputi 14.838 orang yang menderita Alzheimer's dan berusia 50 tahun atau lebih tua lagi, dan 14.838 orang dipilih secara acak, usia dan jenis kelamin yang cocok tanpa sakit Alzheimer's, ialah 9,1 di kalangan pasien Alzheimer's dibandingkan dengan 1,4 pada mereka yang tak menderita Alzheimer's. Itu adalah angka peristiwa yang 6,4 kali lebih tinggi. Di studi kedua, 1.112 orang dewasa yang lebih tua (768 pemantau yang sehat, 133 MCI, 211 penderita Alzheimer's), orang yang menderita anemia didapati memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita Alzheimer's (rasio: 2.56). Dan orang yang menderita Alzheimer's di dalam studi itu didapati memiliki resiko terserang anemia (rasio: 2.61). Jika Alzheimer's juga meningkatkan resiko kondisi cacat lain, maka dampaknya mungkin lebih merusak dibandingkan dengan telah diperkirakan karena populasi global bertambah usia dan makin banyak negara jadi mengikuti pola Barat dalam kebiasaan dan gaya hidup.
- Orang dewasa yang lebih tua dan secara ras serta etnik beragam adalah salah satu segmen populasi yang berkembang paling cepat di Amerika Serikat. Penelitian baru yang diajukan pada AAICAD 2010 mengungkapkan bahwa orang Amerika-Afrika yang lebih tua dan Latin dengan gangguan kognitif mencolok memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperoleh perawatan pengganti dan kelangsungan hidup lebih lama dibandingkan dengan orang dewasa kulit putih yang lebih tua di dalam studi tersebut. Hasil itu memiliki dampak penting bagi beban pemberi perawatan dan sumber daya masyarakat. Ada kebutuhan yang lebih besar daripada perkiraan bagi sumber daya perawatan dementia yang secara budaya cocok dan layanan yang berlandaskan masyarakat dan rumah bagi populasi itu.

- Semua temuan itu sangat mendesak karena orang Amerika-Afrika adalah dua kali lebih mungkin dan orang Latin sekitar satu-setengah kali lebih mungkin untuk terserang Alzheimer's dan dementia dibandingkan dengan orang Kulit Putih, demikian laporan Alzheimer's Assocciation 2010 Alzheimer's Disease Facts and Figures.
- Satu studi lain yang dilaporkan pada AAICAD 2010 menunjukkan bahwa proses kehilangan dan pengalaman yang menyedihkan bagi pemberi perawatan Alzheimer's setelah kematian orang yang mereka cintai sangat beragam di kalangan kelompok suku dan ras.
- Laporan penelitian ketiga menunjukkan bahwa kepercayaan spiritual dan budaya orang Amerika-Afrika, Amerika-India dan Kulit Putih sangat mempengaruhi berapa lama diperlukan bagi satu keluarga untuk mencari diagnosis medis mengenai Alzheimer's.

Mengenai AAICAD
Alzheimer's Association International Conference on Alzheimer's Disease (AAICAD) adalah konferensi terbesar di dunia yang sejenisnya, dan mempertemukan para peneliti dari seluruh dunia untuk melaporkan dan membahas penelitian penting dan infomrasi mengenai penyebab, diagnosis, perawatan dan pencegahan penyakit Alzheimer's dan gangguan yang berkaitan dengan penyakit itu. Sebagai bagian dari program penelitian Alzheimer's Association, AAICAD berfungsi sebagai katalisator buat menggerakkan pengetahuan baru tentang dementia dan menempa masyarakat penelitian perguruan tinggi yang penting.

Mengenai Alzheimer's Association
Alzheimer's Association adalah organisasi kesehatan relawan terkemuka dalam penelitian, dukungan dan perawatan Alzheimer's. Misi kami ialah menghapuskan penyakit Alzheimer's melalui upaya memajukan penelitian, menyediakan dan meningkatkan perawatan dan dukungan bagi semua yang terpengaruh, dan mengurangi resiko dementia melalui peningkatkan kesehatan otak. Visi kami adalah dunia tanpa Alzheimer's. Silakan kunjungi http://www.alz.org, atau hubungi 1-800-272-3900.

DIEMBARGO UNTUK DSIARKAN SAMPAI RABU 14 JULI 14, 2010, 7:30 a.m. HST /1:30 p.m. ET

SUMBER Alzheimer's Association

KONTAK:
saluran media Alzheimer's Association:
+1-312-335-4078,
media@alz.org,
atau ICAD 2010 press room,
10-15 Juli:
+1-808-792-6523

COPYRIGHT © 2010

Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com

Mau di bawa kemana Liburan kuliah ini?


Sumber : Ardiansyah.blogspot.com

Libur Kuliah Bagi Mahasiswa: Saatnya Berkarya dan Meningkatkan Skill
July 10th, 2010 oleh: Ardiansyah S.T., M.Cs Leave a comment Go to comments

Libur panjang kuliah merupakan waktu yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. Setelah 1-2 minggu berperang dengan ujian akhir semester, akhirnya datang juga hari “kebebasan” itu, ya LIBUR PANJANG di akhir semester!

Tidak disangkal lagi nyaris seluruh mahasiswa larut mengharu biru dengan datanya liburan. Bagi yang berasal dari luar kota sudah jauh-jauh hari membeli tiket pulang kampung untuk mudik mengunjungi orang tua, saudara dan teman di kampung. Tidak sedikit pula yang sudah merencanakan perjalanan liburan ke berbagai tempat. Ya, semua agenda mahasiswa sudah dipenuhi nuansa bersenang-senang dan rileks, yang kalau diperhatikan akan jauh dari nuansa akademik perkuliahan.

Semua kegiatan liburan di atas tidaklah buruk, toh sebagai manusia mahasiswa juga butuh refreshing bukan? Masak tiap hari harus kuliah, belajar, di laboratorium, buat tugas dari dosen dll. Stress lah… Namun, terlepas dari itu semua pada tulisan kali ini saya akan membagikan pengalaman saya bagaimana menjalani musim liburan tersebut ketika masih jadi masiswa S1 dulu.

Bagi saya pribadi, libur panjang adalah saat-saat yang ditunggu. Karena dengan adanya libur panjang yang bisa sampai 2-3 bulan itu, saya dapat meningkatkan karya-karya produktif di bidang tulis menulis dan juga meningkatkan kemampuan teknis di bidang komputer yang saya geluti. Terus terang tidak ada agenda liburan seperti yang tergambarkan di atas. Bagi saya dulu, liburannya ya menulis buku dan membuat program baik dalam rangka latihan biasa atau untuk mengerjakan proyek kecil-kecilan. Bahkan sudah ditargetkan bahwa paling tidak selama libur tersebut saya bisa menyelesaikan satu buah buku.

Nah, apa pelajaran yang kita dapat dari dua kondisi yang kontras di atas? Alasannya begini, sebagai mahasiswa kita harus jeli dalam melihat liburan yang di depan mata. Sekilas memang pulang mudik atau jalan-jalan sangat menyenangkan, siapa sih yang nggak mau senang-senang? Tapi ingat, memang di balik kesenangan tentu ada konsekuensi yang harus dibayar. Begitu pula sebaliknya dibalik kerja keras dan tidak liburan santai tentu ada hasil yang akan dinikmati kelak. Mari kita kalkulasi bersama. Anggap saja libur yang akan dijalani selama dua bulan. Bagi mahasiswa yang menghabiskannya dengan pulang kampung, dan atau jalan-jalan tentu yang akan didapatkan tentu saja rasa senang, bahagia, fresh dan mungkin terkesan sedikit hura-hura. Dari sisi finansial tentu sudah berapa ratus ribu atau bahkan juta rupiah yang telah dihabiskan sepanjang liburan tersebut.

Mari kita lihat yang mengisi liburan dengan kegiatan yang agak berbeda. Bila dalam dua bulan tersebut bisa menyelesaikan satu buah buku, tentu akan ada beberapa manfaat yang diraih sebagai mahasiswa. Mulai dari kemampuan menulis yang semakin baik, personal branding yang semakin meluas, dan pemasukan finansial yang semakin bertambah.

Ada contoh lain misalnya selama liburan panjang tersebut dihabiskan dengan mengikuti kursus dan pelatihan yang menunjang keahlian yang ditekuni misalnya bahasa Inggris, pemrograman, teknisi, dll. Sehingga pascaliburan kemampuan mereka akan melejit jauh melebihi dengan mahasiswa yang hanya liburan “biasa” tersebut bukan. Bisa juga bagi yang lemah dalam mata kuliah-mata kuliah tertentu, atau kemampuan teknis tertentu, maka di masa liburan ini menjadi ajang yang sangat berharga untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut beserta meningkatkan skill kemampuan yang memang dirasa lemah/kurang, sehingga ketika masuk kuliah kembali, mereka datang dengan kekuatan ilmu dan pengetahuan yang semakin kuat dan matang.

Tulisan ini tidak bermaksud menyepelekan yang menjalani liburan biasa/refreshing dan begitu pula sebaliknya. Tulisan ini secara tulus bermaksud mengajak mahasiswa untuk lebih jeli, cerdas dan selektif dalam menentukan agenda yang akan dijalankan selama liburannya kelak. Pada akhirnya toh Anda sendiri yang akan menjalani dan menikmati “hasil” dari liburan yang pilih tersebut bukan?…. Selamat berlibur…

Jumat, 09 Juli 2010

Perawatan Luka Modern

Diambil dari situs Fak Ilmu Kep UNPAD

Perawatan Luka Modern
January 7, 2009

by : Hana Rizmadewi Agustina, SKp. MN

I. Pendahuluan

Pada saat ini, perawatan luka telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir ini. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang praktek perawatan luka ini. Disamping itu pula, isu terkini yang berkait dengan manajemen perawatan luka ini berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi penyakit degeneratif dan kelainan metabolic semakin banyak ditemukan. Kondisi tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka dimana perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan optimal.

Dengan demikian, perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Isu yang lain yang harus dipahami oleh perawat adalah berkaitan dengan cost effectiveness. Manajemen perawatan luka modern sangat mengedepankan isu tersebut. Hal ini ditunjang dengan semakin banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk-produk yang bisa dipakai dalam merawat luka. Dalam hal ini, perawat dituntut untuk memahami produk-produk tersebut dengan baik sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Pada dasarnya, pemilihan produk yang tepat harus berdasarkan pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), keamanan (safety). Secara umum, perawatan luka yang berkembang pada saat ini lebih ditekankan pada intervensi yang melihat sisi klien dari berbagai dimensi, yaitu dimensi fisik, psikis, ekonomi, dan sosial.



II. Definisi Luka, Klasifikasi dan Proses Penyembuhan Luka

Secara definisi suatu luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera atau pembedahan. Luka ini bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan dan lama penyembuhan. Adapun berdasarkan sifat yaitu : abrasi, kontusio, insisi, laserasi, terbuka, penetrasi, puncture, sepsis, dll. Sedangkan klasifikasi berdasarkan struktur lapisan kulit meliputi: superfisial, yang melibatkan lapisan epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis dan dermis; dan full thickness yang melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak, fascia dan bahkan sampai ke tulang. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

A. Healing by primary intention

Tepi luka bisa menyatu kembali, permukan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke ekseternal.



B. Healing by secondary intention

Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya.



C. Delayed primary healing (tertiary healing)

Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual.



Berdasarkan klasifikasi berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu. Luka insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan kaidah penyembuhan normal tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika mengalami keterlambatan penyembuhan (delayed healing) atau jika menunjukkan tanda-tanda infeksi.



III. Proses Penyembuhan Luka

A. Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih (overlap)

B. Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta penyebab luka tersebut

C. Fase penyembuhan luka :

1. Fase inflamasi :

· Hari ke 0-5

· Respon segera setelah terjadi injuri Ă  pembekuan darah Ă  untuk mencegah kehilangan darah

· Karakteristik : tumor, rubor, dolor, color, functio laesa

· Fase awal terjadi haemostasis

· Fase akhir terjadi fagositosis

· Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi



2. Fase proliferasi or epitelisasi

· Hari 3 – 14

· Disebut juga dengan fase granulasi o.k adanya pembentukan jaringan granulasi pada luka Ă  luka nampak merah segar, mengkilat

· Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi : Fibroblasts, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid

· Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan penebalan lapisan epidermis pada tepian luka

· Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada luka insisi



3. Fase maturasi atau remodelling

· Berlangsung dari beberapa minggu s.d 2 tahun

· Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength)

· Terbentuk jaringan parut (scar tissue) Ă  50-80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya

· Terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular and vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan



IV. Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka

* Status Imunologi
* Kadar gula darah (impaired white cell function)
* Hidrasi (slows metabolism)
* Nutritisi
* Kadar albumin darah (‘building blocks’ for repair, colloid osmotic pressure – oedema)
* Suplai oksigen dan vaskularisasi
* Nyeri (causes vasoconstriction)
* Corticosteroids (depress immune function)



V. Pengkajian Luka

A. Kondisi luka

1. Warna dasar luka

· Slough (yellow)

· Necrotic tissue (black)

· Infected tissue (green)

· Granulating tissue (red)

· Epithelialising (pink)

2. Lokasi ukuran dan kedalaman luka

3. Eksudat dan bau

4. Tanda-tanda infeksi

5. Keadaan kulit sekitar luka : warna dan kelembaban

6. Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung

B. Status nutrisi klien : BMI, kadar albumin

C. Status vascular : Hb, TcO2

D. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan immunosupresan yang lain

E. Penyakit yang mendasari : diabetes atau kelainan vaskularisasi lainnya





VI. Perencanaan

A. Pemilihan Balutan Luka

Balutan luka (wound dressings) secara khusus telah mengalami perkembangan yang sangat pesat selama hampir dua dekade ini. Revolusi dalam perawatan luka ini dimulai dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor G.D Winter pada tahun 1962 yang dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka. Menurut Gitarja (2002), adapun alasan dari teori perawatan luka dengan suasana lembab ini antara lain:

1. Mempercepat fibrinolisis

Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab.

2. Mempercepat angiogenesis

Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan lebih cepat.

3. Menurunkan resiko infeksi

Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perawatan kering.

4. Mempercepat pembentukan Growth factor

Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk membentuk stratum corneum dan angiogenesis, dimana produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab.

5. Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif.

Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.



Pada dasarnya prinsip pemilihan balutan yang akan digunakan untuk membalut luka harus memenuhi kaidah-kaidah berikut ini:

1. Kapasitas balutan untuk dapat menyerap cairan yang dikeluarkan oleh luka (absorbing)

2. Kemampuan balutan untuk mengangkat jaringan nekrotik dan mengurangi resiko terjadinya kontaminasi mikroorganisme (non viable tissue removal)

3. Meningkatkan kemampuan rehidrasi luka (wound rehydration)

4. Melindungi dari kehilangan panas tubuh akibat penguapan

5. Kemampuan atau potensi sebagai sarana pengangkut atau pendistribusian antibiotic ke seluruh bagian luka (Hartmann, 1999; Ovington, 1999)



Dasar pemilihan terapi harus berdasarkan pada :

· Apakah suplai telah tersedia?

· Bagaimana cara memilih terapi yang tepat?

· Bagaimana dengan keterlibatan pasien untuk memilih?

· Bagaimana dengan pertimbangan biaya?

· Apakah sesuai dengan SOP yang berlaku?

· Bagaimana cara mengevaluasi?



B. Jenis-jenis balutan dan terapi alternative lainnya

1. Film Dressing

· Semi-permeable primary atau secondary dressings

· Clear polyurethane yang disertai perekat adhesive

· Conformable, anti robek atau tergores

· Tidak menyerap eksudat

· Indikasi : luka dgn epitelisasi, low exudate, luka insisi

· Kontraindikasi : luka terinfeksi, eksudat banyak

· Contoh: Tegaderm, Op-site, Mefilm



2. Hydrocolloid

· Pectin, gelatin, carboxymethylcellulose dan elastomers

· Support autolysis untuk mengangkat jaringan nekrotik atau slough

· Occlusive –> hypoxic environment untuk mensupport angiogenesis

· Waterproof

· Indikasi : luka dengan epitelisasi, eksudat minimal

· Kontraindikasi : luka yang terinfeksi atau luka grade III-IV

· Contoh: Duoderm extra thin, Hydrocoll, Comfeel



3. Alginate

· Terbuat dari rumput laut

· Membentuk gel diatas permukaan luka

· Mudah diangkat dan dibersihkan

· Bisa menyebabkan nyeri

· Membantu untuk mengangkat jaringan mati

· Tersedia dalam bentuk lembaran dan pita

· Indikasi : luka dengan eksudat sedang s.d berat

· Kontraindikasi : luka dengan jaringan nekrotik dan kering

· Contoh : Kaltostat, Sorbalgon, Sorbsan



4. Foam Dressings

· Polyurethane

· Non-adherent wound contact layer

· Highly absorptive

· Semi-permeable

· Jenis bervariasi

· Adhesive dan non-adhesive

· Indikasi : eksudat sedang s.d berat

· Kontraindikasi : luka dengan eksudat minimal, jaringan nekrotik hitam

· Contoh : Cutinova, Lyofoam, Tielle, Allevyn, Versiva



5. Terapi alternatif

· Zinc Oxide (ZnO cream)

· Madu (Honey)

· Sugar paste (gula)

· Larvae therapy/Maggot Therapy

· Vacuum Assisted Closure

· Hyperbaric Oxygen



VII. Implementasi

A. Luka dengan eksudat & jaringan nekrotik (sloughy wound)

· Bertujuan untuk melunakkan dan mengangkat jaringan mati (slough tissue)

· Sel-sel mati terakumulasi dalam eksudat

· Untuk merangsang granulasi

· Mengkaji kedalaman luka dan jumlah eksudat

· Balutan yang dipakai antara lain: hydrogels, hydrocolloids, alginates dan hydrofibre dressings



B. Luka Nekrotik

· Bertujuan untuk melunakan dan mengangkat jaringan nekrotik (eschar)

· Berikan lingkungan yg kondusif u/autolisis

· Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat

· Hydrogels, hydrocolloid dressings



C. Luka terinfeksi

· Bertujuan untuk mengurangi eksudat, bau dan mempercepat penyembuhan luka

· Identifikasi tanda-tanda klinis dari infeksi pada luka

· Wound culture – systemic antibiotics

· Kontrol eksudat dan bau

· Ganti balutan tiap hari

· Hydrogel, hydrofibre, alginate, metronidazole gel (0,75%), carbon dressings, silver dressings



D. Luka Granulasi

· Bertujuan untuk meningkatkan proses granulasi, melindungi jaringan yang baru, jaga kelembaban luka

· Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat

· Moist wound surface – non-adherent dressing

· Treatment overgranulasi

· Hydrocolloids, foams, alginates



E. Luka epitelisasi

· Bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk “re-surfacing”

· Transparent films, hydrocolloids

· Balutan tidak terlalu sering diganti



F. Balutan kombinasi

Tujuan


Tindakan

Rehidrasi


Hydrogel + film

atau hanya hydrocolloid

Debridement (deslough)


Hydrogel + film/foam

Atau hanya hydrocolloid

Atau alginate + film/foam

Atau hydrofibre + film/foam

Manage eksudat sedang

s.d berat


Extra absorbent foam

Atau extra absorbent alginate + foam

Atau hydrofibre + foam

Atau cavity filler plus foam



VIII. Evaluasi dan Monitoring Luka

· Dimensi luka : size, depth, length, width

· Photography

· Wound assessment charts

· Frekuensi pengkajian

· Plan of care



IX. Dokumentasi Perawatan Luka

- Potential masalah

- Komunikasi yang adekuat

- Continuity of care

- Mengkaji perkembangan terapi atau masalah lain yang timbul

- Harus bersifat faktual, tidak subjektif

- Wound assessment charts



X. Kesimpulan

1. Penggunaan ilmu dan teknologi serta inovasi produk perawatan luka dapat memberikan nilai optimal jika digunakan secara tepat
2. Prinsip utama dalam manajemen perawatan luka adalah pengkajian luka yang komprehensif agar dapat menentukan keputusan klinis yang sesuai dengan kebutuhan pasien
3. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan klinis diperlukan untuk menunjang perawatan luka yang berkualitas



Referensi

1. http://www.podiatrytoday.com/article/1894

2. Georgina Casey, Modern Wound Dressings. Nursing Standard, Oct 18-Oct 24, 2000:15,5: Proquest Nursing & Allied Health Search

3. Kathleen Osborn, Nursing Burn Injuries. Nursing Management; May 2003; 34,5: Proquest Nursing & Allied Health Search

4. Madelaine Flanagan, Managing Chronic Wound Pain in Primary Care. Practice Nursing; Jun 23, 2006; 31, 12; ABI/INFORM Trade & Industry

5. Maureen Benbow, Healing and Wound Classification. Journal of Community Nursing; Sep 2007; 21,9; Proquest Nursing & Allied Health Search

6. Ritin Fernandez, Rhonda Griffiths, Cheryl Ussia (2002). The Effectiveness of Solutions, Techniques and Pressure in Wound Cleansing. The Joanna Briggs Institute for Evidence Based Nursing & Midwifery. Australia. www.joannabriggs.org.au

7. Ruth Ropper. Principles of Wound Assessment and Management. Practice Nurse; Feb 24, 2006; 31,4; Proquest Nursing & Allied Health Search
Penelitian

*
Ilmuan Islam Perintis Pengobatan G3 Jiwa

April 27, 2010
*
Perbedaan Kecepatan Lari Jarak 200 meter antara yang Menggunakan Sepatu Antropometri Individual dengan Sepatu Konvensional (tesis)

April 27, 2010
*
Alur Skripsi

April 27, 2010
*
Cara Cepat dan Tepat Membuat Skripsi

April 6, 2010

Materi Kuliah

*
Materi Team Building

April 15, 2010
*
NANDA 2009

January 26, 2010
*
Aku masih alergi dengan NANDA….

November 6, 2009
*
2007–2008 NANDA-Approved Nursing Diagnoses

July 21, 2009

Tautan



Copyright 2010 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Hak Cipta Dilindungi Undang Undang

Kamis, 20 Mei 2010

Learning Blood circulation in my Blog


Untuk menjadikan NERS yang berkompensi dan kuat akan keilmiahan, maka dalam perjalanan menuju kesana Tutorial ini bisa menjadi salah satu pilihan.

Selamat menyaksikan.....

SUMBER :

video surf blood circulation

Hikayat Rumpon nelayan mandar

Hikayat Rumpon Nelayan Mandar
:: Muhammad Ridwan Alimuddin ::


Salah satu rumpon di Teluk Mandar.
Foto: Ridwan Alimuddin.

Sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas secara sepihak merusak rumpon milik nelayan Mandar di perairan Selat Makassar. Investor yang mengantongi izin pemerintah ini dituding semena-mena karena memutus mata rantai usaha perikanan para nelayan yang sudah berlangsung sejak lama. Citizen reporter Ridwan Alimuddin melakukan penelitian tentang rumpon dan menyimpulkan bahwa alat bantu penangkapan ikan itu sangat kompleks: ekonomis dan efektif, melibatkan banyak tenaga kerja, dipasang di laut yang juga jalur lalu lintas laut dan lokasi minyak, mempunyai pranata dan kemampuan adaptasi teknologi dan merupakan salah satu puncak kebudayaan bahari di nusantara.(p!)

Dunia kemaritiman di Sulawesi Barat mengalami dua peristiwa penting sepanjang tahun 2007. Pertama, kegiatan Kampanye Makan Ikan yang gagal memecahkan rekor dan dikritik karena memboroskan anggaran sebesar hampir Rp400 juta. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan menuding kegagalan disebabkan karena banyak ikan yang tidak dibakar atau dimakan di lokasi kegiatan melainkan justru dibawa pulang oleh penduduk. Ada yang bilang, siapa suruh melakukan kampanye makan ikan di kampung pemakan ikan. Wajar saja kalau ikannya dibawa pulang!

Peristiwa kedua adalah konflik antara nelayan Mandar dengan investor tambang minyak dan gas. Peristiwa ini dikenal sebagai “kasus rumpon”, sebab ditandai dengan pemutusan ratusan rumpon milik nelayan oleh kapal survei minyak milik investor itu.

Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung), dan pemberat (batu). Rumpon yang mirip dengan rakit, dalam bahasa Mandar disebut roppo atau roppong atau dalam bahasa Bugis - Makassar disbeut rumpong.

Meski hanya sebagai alat bantu penangkapan, keberadaan rumpon amat penting. Bisa dikatakan, kebudayaan bahari Mandar tidak berkembang seperti saat ini bila tak ada rumpon. Hampir semua aktivitas kemaritiman nelayan Mandar berhubungan dengan rumpon, baik langsung maupun tidak langsung. Sandeq misalnya. Perahu ini didesain untuk beroperasi di laut dalam tempat rumpon berada. Sandeq dibuat ringkih tapi kuat agar lincah mengejar ikan di sekitar rumpon. Nelayan Mandar juga identik dengan nelayan spesialisasi ikan pelagis besar (tuna) yang lebih mudah ditangkap di sekitar rumpon. Bahkan nelayan yang beroperasi di pesisir pun menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, yaitu menarik perhatian ikan.

Saat ini, sebagian besar pendapatan dari sektor perikanan di Sulawesi Barat berasal dari pemanfaatan rumpon, baik yang berada di Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Banda, dan perairan selatan Bali dan Lombok.

Asal rumpon
Kawasan laut dalam di sepanjang Selat Makassar (perairan Tolitoli di utara hingga utara Pulau Kapoposang di selatan) dipenuhi rumpon yang dipasang nelayan yang bermukim di pesisir. Kampung nelayan di wilayah ini di antaranya terdapat di Kabupaten Mamuju Utara dan Mamuju, pesisir Teluk Mandar (Majene dan Polman), Ujung Lero (Pinrang), dan Pulau Kapoposang/Pandangang (Pangkep).

Schlais (1981) dalam sebuah publikasi badan PBB, FAO, menyebut bahwa teknologi rumpon diduga pertama kali dikembangkan oleh nelayan Mandar. Informasi ini mendorong saya untuk memahami lebih lanjut meski pencarian informasi relatif susah sebab referensi mendalam mengenai kebudayaan bahari Mandar, khususnya rumpon, belum banyak. Di antara yang sedikit itu, adalah tesis karya Baharuddin Lopa berjudul Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (Penerbit Alumni, Bandung, 1982).

Rujukan lebih lama ditulis Caron (1937), Gubernur Sulawesi pada zaman Belanda, yang menerjemahkan sebuah naskah lontara dari Soppengriaja. Ia menjelaskan bahwa rumpon adalah potongan-potongan bambu panjang yang ditanam di dasar laut dengan diikatkan daun-daun kelapa, yang berfungsi sebagai tempat persembunyian ikan. Nijhoff (1919) di dalam bukunya memberi penjelasan bahwa apa yang disebut rumpon adalah bedekken (menutupi) yang kemudian diartikan sebagai alat untuk menutupi sebatang pohon agar tidak dapat dipanjat; juga dapat diartikan sebagai menutupi suatu jalan agar tidak dapat dilalui orang (Kamus Mandar-Indonesia oleh Abdul Muthalib, 1977).

Dari dua pengertian tersebut, Lopa menyimpulkan bahwa rumpon dapat diartikan sebagai batas wilayah teritorial laut beberapa kerajaan di kawasan pesisir barat Pulau Sulawesi (atau pesisir utara Provinsi Sulawesi Barat sekarang ini), selain fungsi utamanya sebagai alat pengumpul ikan.

Lopa mengemukakan, awalnya rumpon adalah batas beberapa kerajaan di tanah Mandar yang terletak di laut. Alasan itu dapat dirujuk pada peristilahan roppo yang berarti “menutupi”. Kegiatan menutupi kulit suatu pohon produktif dengan bahan pelindung agar tidak dikuliti atau dimakan kambing disebut marroppo’i. Istilah juga berlaku jika memberi pagar atas suatu kebun.


Prosesi ritual pembuatan rumpon.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Istilah roppo jamak digunakan oleh nelayan Mandar di Majene sedang yang di Polman menggunakan istilah roppong. Dalam bahasa Mandar, arti lain dari roppong adalah sampah. Atas dasar itu, salah satu dugaan mengapa ada roppong (sebagai alat bantu penangkapan ikan) adalah mungkin dulunya nelayan Mandar mendapati ikan-ikan berkerumun di bawah roppong (sebagai sampah) yang terapung di lautan.

Menurut Munsi Lampe (1996), antropolog maritim Universitas Hasanuddin yang melakukan penelitian rumpon di Kassi, Bulukumba, rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Belakangan teknologi tersebut diadopsi oleh nelayan Bugis – Makassar. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Horst H. Liebner yang mempelajari teknik penangkapan ikan di rumpon oleh nelayan Mandar di Majene. Horst yakin bahwa nelayan Mandar-lah yang menyebarkan teknik rumpon ciptaannya tersebut ke berbagai tempat di nusantara.

Dalam dunia perikanan nusantara, sebagaimana yang dikemukakan Walujo Subani (1972) dalam buku Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia dan Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos di Indonesia dalam Jurnal Perikanan Laut No. 35 Tahun 1986, rumpon Mandar juga dikenal dengan nama rumpon laut dalam.

Disebut demikian karena rumpon milik nelayan Mandar hampir semuanya dipasang di laut dalam. Beda dengan nelayan lain di Indonesia, misalnya di pesisir Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, rumpon-rumponya berada di laut dangkal, yaitu kisaran 40-50 meter. Bandingkan dengan nelayan Mandar yang rumponnya berada di laut pada kisaran kedalaman 300 – 2.500 meter.

Lokasi geografis rumpon yang berada di kawasan berbahaya adalah salah satu alasan bahwa rumpon awalnya dikembangkan oleh nelayan Mandar. Pembuktian lain juga dapat didasarkan pada prilaku nelayan Mandar terhadap rumpon mereka, yaitu penggunaan ritual-mistik dan pranata hukum.

Hak ulayat
Dari beberapa bentuk hak ulayat laut yang dikenal di nusantara, aturan pemasangan dan pemanfaatan rumpon memiliki keunikan sebab lokasinya mencakup laut lepas. Dengan kata lain, tidak mengutamakan tanda-tanda di darat (landmark) sebagai alat penanda. Berbeda dengan bentuk hak ulayat laut di Maluku (sasi), Papua, dan Sulawesi Utara.

Rumpon pada dasarnya adalah sebuah benda atau teknologi, namun pada prakteknya berlaku aturan yang bersifat abstrak. Untuk itulah dikenal istilah hak ulayat rumpon. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan wilayah laut yang prakteknya sudah berlangsung selama ratusan tahun, pengelolaan rumpon di Teluk Mandar atau Selat Makassar juga memiliki beberapa aturan tidak tertulis yang berlaku di kalangan nelayan Mandar, yang sampai sekarang tetap mereka hormati. Aturan-aturan tersebut menjadikan pengelolaan rumpon oleh nelayan sebagai salah satu bentuk hak ulayat laut yang perlu dilestarikan di Indonesia.

Variabel-variabel pokok di dalam hak ulayat laut adalah: wilayah; unit sosial pemilik hak; dan legalitas beserta pelaksanaannya. Sudirman Saad (2000) menyimpulkan bahwa hak ulayat (laut) paling sedikit memiliki 3 unsur pokok, yaitu: masyarakat hukum sebagai subyek hak ulayat; institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat; dan wilayah yang merupakan obyek hak ulayat, yang terdiri atas tanah, perairan, dan segenap sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.


Upacara memasang rumpon di laut.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Merujuk pada pengertian hukum adat, maka dapat dikatakan bahwa klaim penguasaan perairan di sekitar rumpon termasuk hukum adat, karena merupakan hukum yang hidup sebagai peraturan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup.

Menurut penelitian Sudirman Saad di Kabupaten Bulukumba, aturan-aturan nelayan rumpon memenuhi aturan untuk dijadikan hukum adat atau hak ulayat, yaitu: parromppong memiliki hak menguasai untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar rumponnya, pengecualian terhadap monopoli ini ialah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa pancing; klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan; dan terhadap rumpon yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan ikan), pemilik rumpon masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang lain yang bermaksud memasang rumpon baru atau melakukan penangkapan ikan pada rumpon lama.

Adapun kewajiban para parromppong adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah klaimnya itu. Selain itu, ia juga berkewajiban memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan, apabila hanya menggunakan alat tangkap pancing.

Dari deskripsi mengenai klaim penguasaan perairan oleh nelayan parromppong tersebut di atas, klaim yang sama dapat juga berlaku untuk pemanfaatan rumpon oleh nelayan Mandar. Meski dari penelitian yang penulis lakukan aturan-aturan yang berlaku di Mandar lebih banyak dibanding yang ditemukan Saad di Bulukumba, namun pada dasarnya adalah sama.

Aturan parroppongang
Berikut adalah poin-poin “aturan" parroppongang yang dipraktekkan nelayan Mandar: jarak antarroppong adalah, ketika dilakukan operasi penangkapan secara bersamaan, keduanya tidak saling mengganggu; nelayan yang lebih dulu memasang roppong mempunyai hak-hak istimewa dalam menyelesaikan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penempatan roppong; bila ada dua roppong saling kait (berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisahkan), nelayan yang lebih dulu memasang berhak untuk memiliki roppong tersebut, jika yang berpindah adalah bagian-bagian roppong yang melayang/terapung di laut; jika yang berpindah adalah roppong secara keseluruhan, baik yang terapung maupun yang tenggelam, maka hak kepemilikan roppong yang mendekat diserahkan kepada nelayan yang roppongnya didekati; bila ada bagian roppong yang terlepas, maka bagian tersebut dinyatakan sebagai barang hanyut sehingga pihak yang menemukan berhak memilikinya; nelayan lain diijinkan untuk memanfaatkan roppong, baik untuk menambatkan perahu maupun untuk menangkap ikan yang ada di roppong selama tidak membahayakan roppong dan alat tangkap yang digunakan tidak berskala besar, seperti jala, gae kecuali mendapat izin dari pemilik roppong atau memberitahukan ketika selesai melakukan operasi penangkapan (memberi bagian hasil tangkapan).

Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan, konvensi di antara para nelayan rumpon ini jelas lebih membumi. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon sebagai pengganti Keputusan Menteri Pertanian No.51 /Kpts/ IK.250/I/1997 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon, menghilangkan pembagian jenis-jenis rumpon (rumpon perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam).

Menurut ketentuan Kepmen Kelautan dan Perikanan itu, wilayah pemasangan dan pemanfaatan rumpon serta kewenangan pemberian izinnya adalah: perairan 2 mil laut sampai 4 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah bupati/walikota, dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan di atas 4 mil laut sampai 12 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut terendah, pemberi izin adalah gubernur dengan masa berlaku izin 2 tahun; perairan diatas 12 mil laut dan ZEEI, pemberi izin adalah Ditjen Perikanan Tangkap dengan masa berlaku izin 2 tahun.

Dalam pemasangannya dipersyaratkan hal-hal sebagai berikut: tidak mengganggu alur pelayaran; jarak antarrumpon tidak kurang dari 10 mil laut; tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zig-zag). Pemasang rumpon juga dikenakan kewajiban untuk: memasang tanda pengenal (Pasal 11); membongkar dan mengangkat rumpon yang sudah tidak dimanfaatkan lagi atau telah habis masa izinnya (Pasal 7 ayat 2); dan menyampaikan laporan pemanfaatannya kepada pemberi izin setiap 6 bulan sekali (Pasal 15).

Dalam prosedur permohonan ijin disebutkan, harus dilakukan penilaian terhadap administrasi pemohon maupun lokasi perairan. Penilaian lokasi pemasangan rumpon harus memperhatikan: apakah daerah tersebut tidak merupakan alur pelayaran atau kepentingan lainnya seperti daerah suaka, atau daerah lainnya; apakah daerah tersebut tidak merupakan konsentrasi penangkapan ikan nelayan-nelayan yang tidak menggunakan rumpon; apakah daerah tersebut berbatasan dengan propinsi lain, untuk itu maka Dinas Perikanan dan Kelautan dari domisili pemohon ijin rumpon ditujukan kepada propinsi tersebut.

Terdapat perbedaan mencolok antara apa yang dikembangkan oleh nelayan, yang sudah berumur ratusan tahun, dengan apa yang ditetapkan pemerintah, yang hanya mengadopsi dari undang-undang tentang otonomi daerah.


Rumpon yang sudah siap beroperasi.
Foto: Ridwan Alimuddin.



Mari kita lihat susahnya menjalani prosedur perijinan yang level paling kecil melibatkan bupati, lalu gubernur, untuk kemudian Ditjen Perikanan Tangkap.

Kesulitan pertama, tak jelas batas di laut: mana batas administrasi kabupaten, provinsi, dan laut nasional. Kedua, rencana pemasangan rumpon tidak terinci dalam segi koordinat. Kadang-kadang, faktor lingkungan laut dipengaruhi oleh “ilham” bahwa di sinilah tempat yang cocok. Ketiga, penentu utama lokasi pemasangan rumpon adalah nelayan lapangan, bukan si pemilik rumpon (pemilik modal). Keempat, bagaimana prosedur perijinannya, bagaimana kalau lokasi tak sesuai?


Ide pemetaan rumpon
Lokasi rumpon nelayan Mandar banyak terdapat di Teluk Mandar, Selat Makassar, Laut Flores, Teluk Bone, dan Laut Banda namun tidak semuanya dimiliki oleh nelayan Mandar. Ada yang menggunakan sistem bagi hasil dengan juragan dari daerah lain, misalnya pengusaha ikan di Bone atau Kajang.

Yang menarik adalah rumpon-rumpon milik orang Mandar yang berada di kabupaten atau provinsi lain, terkait dengan implikasi kebijakan otonomi daerah. Lokasi rumpon sebagian besar terletak di luar batas tiga-perempat mil dari 12 mil laut wilayah propinsi, dan atau di luar wilayah kabupaten tempat nelayan rumpon bermukim.

Paling tidak ada tiga kategori nelayan rumpon bila berdasarkan atas batas-batas kewenangan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota (Pasal 3 UU No. 22/1999) dengan asal nelayan: nelayan yang memiliki wilayah rumpon di wilayah laut kabupaten yang dia tempati; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di bagian perairan yang merupakan batas antar dua kewenangan laut, yaitu di perbatasan dengan kabupaten lain dan di perbatasan dengan batas kewenangan laut propinsi; nelayan yang memiliki wilayah rumpon di luar batas kewenangan kabupaten yang dia tempati, yaitu di wilayah kewenangan kabupaten lain dan di wilayah laut kewenangan propinsi atau nasional.

Contoh untuk ketiga kategori di atas: nelayan Majene yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Majene, nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dengan Kabupaten Majene; nelayan Polewali Mandar yang memiliki rumpon di perbatasan Kabupaten Polewali Mandar (Sulawesi Barat) dengan perairan Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan); nelayan Polewali Mandar yang memasang rumpon di perairan Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan).

Permasalahan tidak akan kompleks bila di kalangan nelayan sudah ada saling pengertian. Biasanya pengertian didasarkan pada tradisi pengelolaan turun-temurun. Sepengetahuan saya, tidak ada kasus besar yang muncul dikarenakan ada perebutan wilayah pemasangan rumpon nelayan kabupaten antarprovinsi. Salah satu alasannya, karena mereka sudah menjalankan tradisi pemanfaatan rumpon selama ratusan tahun; ada aturan tidak tertulis yang sama-sama mereka hormati.

Selain itu, misalnya pemasang dan pengguna rumpon di perairan Pinrang dan Pangkep, umumnya adalah keluarga sendiri, yaitu orang-orang Mandar perantauan di Ujung Lero. Di sini faktor kesamaan budaya berperan nyata.

Walau tidak ada usaha perebutan wilayah rumpon antarsesama nelayan, usaha pencegahannya harus tetap dilakukan sekaligus sebagai bentuk pengakuan wilayah rumpon sebagai salah satu bentuk hak ulayat yang harus dihormati. Pertimbangan lain, konflik kepentingan di lokasi rumpon bukan hanya sebatas antarnelayan rumpon, sektor lain pun dapat menimbulkan konflik kepentingan di laut, seperti transportasi laut dan pertambangan.

Lokasi rumpon secara hukum formal diakui, sebab itu merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Tapi bila melihat teknologi penangkapan yang digunakan, dalam hal ini gae (pukat cincin atau purse seine), sifat tradisional tersebut akan tertutupi apalagi bila memasukan tonase perahu sebagai pertimbangan nelayan tradisional atau bukan.

Untuk membantu memperkuat kekuatan hukum lokasi-lokasi rumpon yang sudah mentradisi menjadi kekuatan hukum yang luas jangkauannya, baik antarsesama nelayan rumpon dari kabupaten/provinsi yang sama, dengan nelayan luar, atau dengan sektor lain di luar usaha perikanan, maka kegiatan pemetaan lokasi-lokasi rumpon secara spesifik perlu untuk dilakukan.

Langkah awal yang penting dilakukan adalah pemetaan lokasi-lokasi rumpon khususnya di Teluk Mandar dan Selat Makassar. Ini untuk mengetahui koordinat yang spesifik dijadikan lokasi pemasangan rumpon. Hasil pemetaan dapat diperluas lagi manfaatnya, misalnya aplikasi bersama penginderaan jauh, untuk menghindari konflik, dan dalam bentuk lain, misalnya wisata bahari.

Kegiatan pemetaan tersebut akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Tetapi bila kita berpikir ke depan, usaha tersebut mendesak untuk segera dilakukan. Jika hanya menyelesaian konflik berupa ganti rugi kepada nelayan, bisa dipastikan konflik ke depan akan terus terjadi dan biayanya pun pasti lebih besar.

Coba kita bandingkan, biaya ganti rugi untuk satu rumpon yang rusak berkisar Rp4 hingga Rp15 juta. Bila ada 20 rumpon yang rusak, maka uang yang harus dikeluarkan mencapai ratusan juta, jauh lebih tinggi daripada biaya riset/pemetaan.

Harapan idealnya, misalnya jika ada kapal eksplorasi yang ingin mencari minyak di laut, terlebih dahulu mereka harus mempelajari lokasi yang akan dituju, apakah ada rumpon atau tidak. Jika ya, asal nelayan dan pemiliknya dari mana? Jika terpaksa dilakukan pemutusan, sebelumnya mereka harus bicara baik-baik. Dan bila nelayan akan dirugikan, maka yang datang belakang sebagai pemanfaat harus memberi ganti rugi.

Harapan ini akan terwujud bila ada database yang lengkap mengenai rincian lokasi rumpon, siapa pemiliknya, berapa biaya pembuatannya, berapa efek kerugian jika rumpon diputus, dan lain sebagainya.(p!)

SUMBER : *Citizen reporter Ridwan Alimuddin dapat dihubungi melalui email sandeqlopi@yahoo.com

me in every time's

me in every time's
Action in Red Campus